Loading...

Memanfaatkan Perasaan Konstruktif untuk Pemberdayaan Diri

Memanfaatkan Perasaan Konstruktif untuk Pemberdayaan Diri


Salah satu prinsip utama dalam memberdayakan diri adalah bahwa hanya perasaan yang bisa menggantikan perasaan, bukan pikiran positif. Setiap kali kita berpikir positif, pikiran tersebut tidak mampu menghadirkan perasaan dengan intensitas yang cukup untuk mengalahkan perasaan yang telah lebih dulu kita rasakan dan tertanam kuat di bawah sadar kita. Misalnya, seseorang yang sedang sakit hati mengalami intensitas perasaan yang sangat tinggi. Ketika seseorang tersebut terkunci dalam perasaan sakit hati yang begitu besar, sulit baginya untuk berpikir positif. Hal ini karena intensitas perasaan positif yang hadir tidak mampu mengalahkan besarnya intensitas rasa sakit hati yang dirasakan.


Orang yang sedang sakit hati sulit menerima saran dan masukan. Mereka hanya bisa menerima nasihat ketika intensitas rasa sakit hatinya telah mereda atau bahkan tidak lagi terasa. Atau, ketika ada sesuatu yang membuatnya tergugah, tiba-tiba saja ia merasakan kehadiran perasaan lain yang lebih kuat intensitasnya dibandingkan rasa sakit hati. Artinya, ada perasaan lain yang lebih kuat hadir dan menimpa perasaan sakit hati.


Endel Tulving, seorang psikolog kognitif terkenal yang dikenal karena kontribusinya dalam bidang memori dan neuropsikologi, mengklasifikasikan memori menjadi dua jenis utama: memori episodik dan memori semantik. Memori episodik terkait dengan pengalaman pribadi dan konteks spesifik, sementara memori semantik terkait dengan pengetahuan umum dan fakta-fakta. Melalui pancaindra, kita merekam semua data yang masuk dari pengalaman kita yang beragam di kabel sinaptik otak. Indra menyediakan data mentah yang memungkinkan kita untuk membentuk ingatan episodik. Jika pengetahuan memberi makan pikiran melalui otak, maka pengalaman memberi makan pikiran melalui tubuh. Ketika kita berada di tengah-tengah pengalaman baru, semua indra kita terlibat dalam peristiwa tersebut. Apa yang kita lihat, cium, dengar, cicipi, dan rasakan mengirimkan rangsangan sensorik yang sinkron melalui lima jalur berbeda ke otak sekaligus.


Saat semua data itu masuk ke otak, terjadi pelepasan neurotransmiter kimia yang sangat besar. Pelepasan bahan kimia otak yang berbeda menghasilkan perasaan tertentu. Akibatnya, produk akhir dari setiap pengalaman adalah perasaan atau emosi. Perasaan adalah ingatan kimiawi. Oleh karena itu, kita dapat mengingat pengalaman dengan lebih baik karena kita dapat mengingat bagaimana perasaan kita saat itu. Jangan heran ketika ada suatu pengalaman lain yang mirip dengan pengalaman sakit hati, seketika itu pula perasaan sakit hati akan muncul dan hadir di saat ini, terasa sangat nyata seolah baru saja terjadi pengalaman yang menyakitkan itu.


Ada ikatan kuat antara pengalaman dan memori (memori episodik) dengan perasaan. Karena setiap pengalaman memiliki perasaannya tersendiri, perasaan yang berbeda berarti menghadirkan pengalaman yang berbeda pula. Dari pola hubungan antara pengalaman (memori episodik) dengan perasaan, kita dapat menciptakan pengalaman baru (kebiasaan baru) dengan hanya menyetel perasaan yang sesuai dengan pengalaman yang kita harapkan. Dengan kata lain, kita bisa mengubah kebiasaan buruk dengan memanfaatkan perasaan konstruktif agar tercipta kebiasaan baru yang baik. Kita menimpa perasaan destruktif dengan perasaan konstruktif, agar hadir suatu pengalaman baru yang juga konstruktif.


Untuk melakukan ini, pertama-tama kita perlu menyadari perasaan apa yang sedang kita alami dan kemudian secara aktif mencari perasaan konstruktif yang dapat menggantikannya. Misalnya, ketika kita merasa marah atau frustrasi, kita bisa mencoba mengingat atau membayangkan suatu pengalaman yang membuat kita merasa tenang dan bahagia. Dengan memusatkan perhatian pada perasaan positif tersebut, kita dapat mengurangi intensitas perasaan negatif kita.


Ini tidak berarti kita mengabaikan perasaan negatif atau berpura-pura tidak ada masalah. Sebaliknya, kita mengakui keberadaan perasaan negatif tetapi memilih untuk tidak membiarkannya mengendalikan tindakan kita. Dengan terus-menerus melatih diri untuk menggantikan perasaan destruktif dengan perasaan konstruktif, kita dapat membangun kebiasaan baru yang lebih positif dan memberdayakan diri kita secara keseluruhan.

Kategori: Hipnosis